Ability to Pay

1. Pendahuluan

Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, bagaimana cara memastikan beban pajak dibagi secara adil di antara warga negara? Di sinilah konsep ability to pay atau kemampuan membayar berperan. Prinsip ini berangkat dari pemikiran bahwa setiap orang harus membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sehingga tidak ada pihak yang terbebani secara tidak proporsional. Di Indonesia, asas ini menjadi salah satu fondasi penting dalam penetapan tarif pajak, terutama pada pajak penghasilan.

2. Definisi Ability to Pay

Secara sederhana, ability to pay berarti kemampuan seseorang atau badan usaha untuk membayar pajak sesuai tingkat penghasilan atau kekayaannya. Prinsip ini berangkat dari teori keadilan dalam perpajakan, yang menyatakan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan kapasitas ekonomi wajib pajak.

Konsep ini pertama kali muncul dalam pemikiran ekonom klasik seperti Adam Smith dan John Stuart Mill. Smith, misalnya, menekankan bahwa pajak harus sebanding dengan kemampuan seseorang untuk berkontribusi, sementara Mill memperluasnya dengan gagasan bahwa sistem pajak yang adil juga harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam praktiknya, ability to pay sering diwujudkan melalui sistem tarif progresif, di mana persentase pajak meningkat seiring bertambahnya penghasilan.

3. Prinsip-Prinsip Dasar

Prinsip ability to pay umumnya dibagi menjadi dua konsep utama:

  • Keadilan Horizontal
    Orang dengan kemampuan ekonomi yang sama harus membayar jumlah pajak yang sama. Misalnya, dua pegawai dengan gaji bulanan Rp10 juta seharusnya menanggung beban pajak yang sama, tanpa pengecualian khusus yang tidak relevan.
  • Keadilan Vertikal
    Orang dengan kemampuan ekonomi lebih besar harus membayar pajak lebih besar, baik secara nominal maupun persentase. Contohnya, seseorang yang berpenghasilan Rp50 juta per bulan wajar membayar pajak lebih tinggi daripada yang berpenghasilan Rp5 juta, karena kontribusinya dapat lebih besar tanpa mengorbankan kesejahteraan dirinya.

Kedua prinsip ini memastikan beban pajak terdistribusi secara adil dan berkontribusi pada pengurangan kesenjangan sosial.

4. Contoh Implementasi di Indonesia

Di Indonesia, prinsip ability to pay tercermin jelas dalam tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Sistem tarif progresif yang berlaku saat ini (UU HPP 2021) menetapkan:

  • Penghasilan kena pajak sampai Rp60 juta/tahun → tarif 5%
  • Rp60 juta – Rp250 juta/tahun → tarif 15%
  • Rp250 juta – Rp500 juta/tahun → tarif 25%
  • Rp500 juta – Rp5 miliar/tahun → tarif 30%
  • Di atas Rp5 miliar/tahun → tarif 35%

Simulasi sederhana:

  • Wajib Pajak A berpenghasilan kena pajak Rp50 juta → hanya kena tarif 5% → pajak terutang Rp2,5 juta.
  • Wajib Pajak B berpenghasilan kena pajak Rp300 juta → kena beberapa lapisan tarif (5%, 15%, dan 25%), total pajak terutang jauh lebih besar secara nominal dan persentase efektif.

Simulasi ini memperlihatkan bagaimana tarif progresif memastikan kontribusi lebih besar dari mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih tinggi, sejalan dengan prinsip ability to pay.

5. Perbandingan dengan Negara Lain

Di Amerika Serikat, sistem pajak federal juga progresif, dengan tarif mulai dari 10% hingga 37% tergantung penghasilan. Perbedaan utamanya adalah jumlah bracket pajak yang lebih banyak dan adanya pengaruh signifikan dari pengurangan (deductions) dan kredit pajak (tax credits).

Sementara itu, di Jerman, prinsip ability to pay bahkan tercantum dalam konstitusi. Tarif pajak progresifnya berjalan secara gradual (tarif naik sedikit demi sedikit) hingga mencapai batas maksimum sekitar 45% untuk penghasilan tertinggi.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun prinsipnya sama, implementasi ability to pay bisa berbeda tergantung sistem hukum, sosial, dan ekonomi masing-masing negara.

6. Tantangan Penerapan Ability to Pay

Meskipun konsep ini terdengar ideal, penerapannya tidak selalu mudah. Beberapa tantangan di Indonesia antara lain:

  • Ketersediaan Data Penghasilan
    Banyak pekerja di sektor informal yang tidak tercatat penghasilannya, sehingga sulit menentukan kemampuan membayar secara akurat.
  • Penghindaran Pajak
    Wajib pajak berpenghasilan tinggi cenderung memiliki lebih banyak cara untuk menghindari pajak, baik secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion).
  • Administrasi dan Teknologi
    Sistem administrasi pajak perlu terus diperbarui agar mampu mengidentifikasi dan memverifikasi data penghasilan secara cepat dan akurat.

Mengatasi tantangan ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, serta pemanfaatan teknologi seperti big data dan integrasi informasi lintas lembaga.

7. Kesimpulan

Prinsip ability to pay adalah salah satu pilar penting dalam sistem perpajakan modern yang bertujuan menciptakan keadilan dan pemerataan. Dengan menyesuaikan besaran pajak berdasarkan kemampuan membayar, negara dapat memastikan beban pajak tidak memberatkan kelompok berpenghasilan rendah, sambil tetap memperoleh kontribusi optimal dari kelompok berpenghasilan tinggi.

Di Indonesia, penerapan prinsip ini melalui tarif progresif PPh merupakan langkah tepat. Namun, tantangan seperti keterbatasan data, penghindaran pajak, dan administrasi masih perlu diatasi agar asas ini benar-benar efektif. Pemahaman publik tentang ability to pay juga penting, karena kesadaran pajak yang baik akan memperkuat keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal negara.

FREE ESTIMATION​

Request A Quote​

I am text block. Click edit button to change this text. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis.